堕天使

Q: “Chi…. Chi…. wattpad belum lanjut2 sampe sekarang, Mou Ichido Ikiru dan Somehow belum dilanjut juga, projek novel juga udah berdebu, dan sekarang malah bikin cerbung baru. Tugas lu sebagai panitia di event Aksara apa kabar?”

A: “………..” //auto berkeringat //KABUR

________

Prolog

Dia berjalan di tengah keremangan malam. Kaki telanjangnya berkali-kali menjejak bumi dengan lembut, berlari kecil dengan langkah-langkah ringan. Gaun putihnya turut berdansa di udara kala dirinya berputar dengan satu kaki terangkat, sangat jelas dia berusaha mengikuti gerakan balet yang dia tonton di televisi tadi.

Jalanan yang tengah dia lewati itu sempit, sampah berserakan di mana-mana, menimbulkan aroma tak sedap. Beberapa pecahan beling yang menguarkan aroma alkohol turut menambah aroma tak sedap di jalanan itu. Namun dia tak peduli, terus berjalan dan berputar dengan satu kaki. Tanah yang dia injak sungguh tidak bersih, lumpur dan kotoran di mana-mana, mengotori kakinya yang berkulit seputih persik. Namun sekali lagi, dia tak peduli.

Setelah beberapa menit terus berjalan, akhirnya dia sampai di depan sebuah rumah kecil berpagar. Lampu rumah itu tidak menyala, rumput-rumput di halaman sudah tumbuh sangat panjang dan juga sangat kering, dan sebuah pohon beech yang kering kerontang tumbuh di tengah halaman. Namun dia tahu, bahwa orang itu ada di dalam rumah.

Kenapa dia bisa tahu?

Karena aura yang menguar dari rumah itu sangat pekat….

….benar, aura itu adalah….

….aura dosa yang telah lama dia kenal.

Dia menghirup napas sebelum membuka pintu pagar yang berkarat, lalu memantapkan hatinya sembari menyeberangi halaman. Dia nyaris menarik kembali tangannya saat hendak mengetuk pintu. Tengkuknya seketika terasa dingin, lalu memutuskan untuk mengetuk pintu.

Dia tidak perlu menunggu lama, karena pintu langsung menjeblak terbuka. Yang membukakan pintu adalah seorang laki-laki berambut hitam tebal yang kusut masai, kulitnya putih pucat, jangkung, dan matanya yang berwarna merah menyalang marah, menatapnya dengan pandangan murka. Laki-laki itu tampak limbung, lalu bersandar pada daun pintu sebelum kembali menenggak sebotol absinthe.

“Ahh, kamu lagi….” ujar laki-laki itu. “Ngapain ke sini? Bukannya sudah kularang ke sini lagi?”

Dia terdiam. Lalu menjawab dengan suara bergetar, “Saya hanya ingin mampir. Ah, Anda minum alkohol lagi.”

Laki-laki itu menatap botol kaca di tangannya, lalu tertawa meremehkan. “Aku takkan mati, walaupun ginjalku telah rusak.” Dia melambaikan tangan seolah sedang mengusir nyamuk.

Laki-laki itu menatapnya, kali ini lebih lama. Lalu segera menaruh botol absinthe di halaman depan dan segera mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Aku sudah tidak meminumnya lagi.”

Dia tersenyum kecil.

“Nah, sekarang katakan padaku, kenapa tiba-tiba kamu berkunjung, Luci?” laki-laki itu bertanya sembari menglurkan tangannya.

Tinggalkan komentar